Selasa, 13 September 2016

TRANSFORMASI EKONOMI ISLAM DALAM SISTEM HUKUM PERBANKAN NASIONAL DAN PROBLEMATIKA KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA

TRANSFORMASI EKONOMI ISLAM DALAM SISTEM HUKUM PERBANKAN NASIONAL DAN PROBLEMATIKA KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA 

Taufik Kurrohman
E-mail: taufik.qman@yahoo.com

ABSTRAK

Kajian ini bertujuan membahas transformasi Ekonomi Islam dalam sistem hukum nasional, dan problematika konflik mengenai kewenangan Peradilan Agama dalam menangani perkara sengketa ekonomi syariah, karena kewenangan absolut peradilan agama dibatasi dengan adanya membuka ruang jika para pihak bersepakat jika terjadi sengketa maka dapat diajukan pada Pengadilan Negeri, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum secara normatif. Kajian ini menggunakan pedekatan yuridis normatif dan emperis. Hasil penelitian menunjukan pertama, transformasi ekonomi Islam dalam sistem hukum nasional berhasil dilakukan dengan baik; kedua, terjadi ketidakpastian hukum dalam memberikan kewenangan absolut kepada Peradilan Agama di dalam menangani sengketa ekonomi syariah.
  
Kata Kunci:  Ekonomi Islam, Hukum Nasional, Kewenangan absolut
          Peradilan Agama.

ABSTRACT
This study aims to discuss the transformation of Islamic Economics in the national legal system, and the problems of conflict regarding the authority of the Religious Court in handling cases of dispute sharia economy, because the absolute authority of religious courts is limited by the open space if the parties agree in case of a dispute, it can be filed in the District Court, giving rise to legal uncertainty normative. The study used  normative and empirical. The results showed first, the economic transformation of Islam into the national legal system successfully carried out properly; second, there is legal uncertainty in delivering the absolute authority to the Religious Court in handling disputes sharia economy.

Keywords: Islamic Ekonomic, National Legal system, the authority of the
                  Religious Court


A. Pendahuluan


A.  Peraturan dan Latar Belakang Lahirnya Lembaga Pembiayaan Perbankan Syariah di Indonesia

        Di Indonesia Bank Syariah pertama kali didirikan pada tahun 1992 adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI). Walaupun perkembangannya sedikit terlambat dengan negara-negara Muslim lainnya, perbankan syariah di Indonesia akan terus berkembang. bila pada periode tahun 1992-1998 hanya ada satu unit Bank Syariah, maka pada tahun 2005, jumlah bank syariah di Indonesia telah bertambah menjadi 20 unit, yaitu 3 bank umum syariah dan 17 unit usaha syariah. Sementara itu, jumlah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) hingga akhir tahun 2004 bertambah menjadi 88 buah.[1]
        Perbankan tanpa bunga sebagai lembaga intermediasi mulai diakui dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (LN. 1992 No. 31) dan sebagai aturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Bagi Hasil. Dengan adanya perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (LN. 1998 No.182). dan diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
       Perkembangan bank syariah di Indonesia tidak terlepas dari situasi politik yang melingkupi kehadirannya dan masalah yuridis yang berkenaan dengan persentuhan antara hukum syariah dengan hukum nasional dan hukum barat, maka mau tidak mau bank syariah harus menyesuaikan dengan habitat barunya. Perbankan syariah modern diawali saat pendirian BPR Dana Mardhatillah dan BPR Berkah Amal Sejahtera pada tahun 1991 di Bandung, yang diinisiasi oleh Institute for Syariah for Economic Depelovment (ISED).[2] Pembangunan bank syariah dipengaruhi oleh pemikiran dan upaya para ulama, ahli ekonomi Islam baik secara individu maupun institusional serta perkembangan dan kemajuan perbankan syariah internasional. Perkembangan bank syariah di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan Peradilan Agama.[3]Hal ini bukan hanya dikarenakan masalah perkara perbankan syariah menjadi kewenangan pengadilan agama, namun pluktuasi penerapan syariah dalam berbagai aspek hukum dapat juga ditelaah dari fluktuasi kewenangan Pengadilan Agama.
       Dengan diundangkannya UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang mengubah UU No. 14 tahun 1967 tentang pokok perbankan, lebih lanjut dikeluarkan PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank dengan Prinsip Bagi Hasil. UU No. 7 Tahun 1992 kemudian diamandemen  dengan UU No. 10 Tahun 1998. Menindaklanjuti perubahan UU No. 10 1998, BI pada tahun 1999 mengeluarkan ketentuan mengenai proses pendirian dan jaringan bank umum syariah (BUS), pengaturan bank umum konvensional (BUK) yang membukan unit usaha syariah (UUS). Pendirian Kantor Cabang Syariah (KCS), dan pendirian Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Tahun 2004 tentang Perluasan Unit Usaha Syariah (UUS), khususnya bagi bank umum.[4]
Undang-Undang No. 1 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah yang terdapat pada pasal 5 UU No. 21 Tahun 2008 mengatur cara-cara menyelesaikan sengketa ekonomi syariah melalui atau diluar proses peradilan, dalam undang-undang tersebut memberikan peluang kepada para pihak untuk mengajukan perkara kepada peradilan Agama atau Peradilan umum, sehingga para ahli berpendapat bahwa Peradilan Agama tidak mempunyai kompetensi yang absolut karena dimungkinkan adanya choice of  forum, akan tetapi hal tersebut di bantah oleh Prof. Dr. Bagir Manan,SH, M.CL “bahwa pendapat tersebut adalah merupakan pendapat yang menyesatkan (misleading) Bukan forum yang melahirkan kompentensi absolut, melainkan hukum substansif yang akan diserahkan dan subjek yang akan menjadi pihak dalam sengketa atau perkara.” Meskipun ada dua atau lebih forum yang berbeda tidak serta merta tidak memiliki kompetensi absolut. Namun karena hukum substantif yang akan ditegakkan sama, maka terjadi yang disebut dengan Concurent authority (kekuasaan bersama) sehingga dimungkinkan akan terjadinya sengketa antar wewenang (dispute authority).
B.  Permasalahan
   Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, pokok permasalahan  dalam tulisan ini adalah pertama, bagaimana transformasi ekonomi Islam dalam sistem hukum nasional; kedua, bagaimana kewenangan dua forum kekuasaan peradilan menangani sengketa hukum substantif yang sama dan objek yang sama ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
               Berdasarkan pokok permasalahan tersebut maka tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui transformasi hukum Islam masuk dalam sistem hukum nasional. Disamping itu agar dapat memahami mengenai problematika kewenangan absolut yang dapat berpotensi sengketa antar wewenang dengan adanya kewenangan yang diberikan kepada dua forum keuasaan peradilan. Kegunaan penelitian secata teoritis sebagai bagian masukan yang dapat bermanfaat bagi perkembangan ekonomi Islam di masa yang akan datang. Dan bagi pembaca sebagai bagian dari khajanah perkembangan hukum perbankan nasional dan sistem peradilan yang ada di Indonesia.

D. Metode Penelitian
       Menurut Morris L. Cohen, Legal Research is the process of finding the laws that governs activities in human society[5] dan menurut Peter Mahmud Marzuki[6] penelitian hukum (legal research)[7] merupakan suatu proses ilmiah untuk mencari pemecahan atau isu hukum yang muncul dengan tujuan untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atau isu hukum yang muncul tersebut. Selanjutmya berdasarkan beberapa pandangan dan pengertian yang dikemukakan beberapa penulis antara lain Morris L. Cohen, Enid Campbell, Lan McLeod, Terry Hutchinson, Jan Gijssels dan Mark van Hoecke.[8]
        Hukum adalah sebuah konsep dan tidak ada konsep yang tunggal mengenai hukum.[9]penelitian hukum normatif digunakan dalam analisis Penelitian ini, karena dilandasi oleh karakter khas ilmu hukum itu sendiri yang terletak pada metode penelitiannya, yaitu penelitian yang bersifat normatif hukum.[10]Dalam penelitian hukum diperlukan metode pendekatan yang dimaksudkan untuk mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu hukum yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini meliputi :[11]
         Pendekatan koseptual (Conseptual approach) berdasar dari pendapat ahli (doktrin) yang terkait dengan materi hukum perbankan, Pendekatan undang-undang (statute approach) terutama difokuskan pada ketentuan Undang-undang serta peraturan Bank Indonesia mengenai Perbankan Syariah, Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dalam menganalisis kasus-kasus wanprestasi yang terjadi pada perbankan syariah dan diputus oleh Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri, sedangkan Pendekatan perbandingan (comparative appraoch) sebagai bagian pendekatan pelengkap komparasi hukum nasional dan hukum Islam dalam transaksi kontrak/akad perbankan syariah yang berakhir dengan sengketa di pengadilan.
       Dari pendekatan tersebut dimaksudkan penulis mendapatkan sumber yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan di dalam melakukan penelitian ini. Hal yang tidak kalah penting juga berkaitan dengan sejarah lahirnya perbankan Islam sebagai bagian yang akan penulis ungkapkan dalam penulisan ini, karena aspek sejarah merupakan hal yang tidak akan terlepas dari perkembangan ekonomi Islam dewasa ini. Studi komparatif terhadap fatwa-fatwa yang disampaikan Majelis Ulama indonesia menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang Perbankan Syariah. Sehingga menurut pendapat penulis hal tersebut juga menjadi bagian yang akan dielaborasi lebih jauh dalam penulisan penelitian ini.
       Namun batasan yang jelas dalam penelitian ini penulis berfokus pada transformasi ekonomi Islam dalam sistem Perbankan nasional dan yang  kedua sengketa kewenangan lembaga peradilan dalam menangani perkara ekonomi Islam.

E.  Pembahasan
A. Peraturan dan Latar Belakang Lahirnya Lembaga Pembiayaan Perbankan Syariah di Indonesia

         Pemberlakuan  Hukum syariah berlaku bagi semua aspek kehidupan seorang muslim bagi perbankan berlaku juga prinsip syariah yang diakomodir dengan Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah prinsip perbankan syariah diakui sebagai hukum positif. Pada Pasal 24 ayat (1) huruf a. Pasal 24 ayat (2) huruf a, dan Pasal 25 huruf a Undang-undang  No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menentukan dengan tegas bahwa bank syariah dilarang melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah. Sesuai dengan asas hukum perjanjian, sebagaimana dimuat dalam kitab undang-undang hukum perdata, suatu perjanjian tidak boleh, antara lain bertentangan dengan undang-undang. Apabila isi suatu perjanjian bertentangan dengan undang-undang, maka perjanjian tersebut atau ketentuan (pasal atau ayat) yang bertentangan dengan undang-undang menjadi batal demi hukum.[12]
        Hukum Islam sebagai salah satu sistem hukum dan sumber hukum  sehingga menjadi salah satu sumber utama bahan baku penyusunan hukum nasional mengandung cukup banyak asas yang substansinya bersifat universal[13]. Asas-asas tersebut digunakan untuk menyusun perundang-undangan nasional, khususnya dalam bidang hukum kontrak. Asas-asas hukum Islam di bidang hukum kontrak sangatlah penting oleh karena fungsi kontrak sebagai bentuk nyata dalam transaksi pada Perbankan Syariah.
         Penerapan hukum syariah dalam konteks hukum positif sebagai sumber hukum dasar nasional[14] dapat diwujudkan dalam operasioal perbankan syariah, sebagaimana pada umumnya setiap transaksi antara bank syariah dengan nasabah, terutama yang berbentuk pemberian fasilitas pembiayaan, secara legal formal dituangkan dalam surat perjanjian kredit (letter of offer). [15]Dengan demikian para pihak yang melakukan perbuatan hukum, yaitu antara bank syariah dengan nasabah, dapat memasukan aspek-aspek syariah  dalam konteks hukum positif indonesia sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak akan tetapi tidak mengurangi aspek syariahnya.
        Perkembangan syariah, hukum Islam sangat semarak dalam era ekonomi dunia yang sedang memasuki budaya global dengan kemajuan teknologi informatika di satu sisi dan kebangkitan nasionlisme dan spritual di sisi lain. Dalam era ekonomi baru, dan posisi hukum semakin diperlukan guna mengaturnya. Budaya global juga antara lain disemarakan dengan perkembangan “Ekonomi Islam” yang merupakan serangkaian “reaktualisasi” doktrin Islam mengenai masalah ekonomi.[16]

B. Transformasi Ekonomi Islam dalam Sistem Hukum Perbankan Nasional
        Pada zaman Rasulullah SAW. secara eksplisit belum ada institusi bank, akan tetapi Islam pada dasarnya sudah memberikan prinsip-prinsip dan filosofi dasar yang harus dijadikan pedoman dan aktivitas perdagangan dan perekonomian. Banyak pertanyaan yang mewarnai lahirnya perbankan syariah di era muamalah kontemporer Apakah konsep bank merupakan konsep asing dalam sejarah perekonomian umat Islam ? pertanyaan ini sangat penting untuk dijawab sebagai bagian dari landasan lahirnya Perbankan Syariah dan memberikan pengetahuan kepada masyarakat luas yang memanfaatkan muamalah dalam perbankan syariah yang berdasarkan hukum Islam.[17]
       Ekonomi Islam/syari`ah adalah ilmu yang membahas perihal ekonomi dari berbagai   sudut pandang keIslaman baik dari sisi filsafat maupun dari sisi etika bermuamalah terutama dari aspek hukum atau syariahnya.[18] Menurut M.A.Mannan, ilmu ekonomi Islam/syariah merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Hal ini tidak berarti ekonomi Islam/syari`ah hanya diproyeksikan untuk orang-orang yang beragama Islam saja, karena Islam membolehkan ummatnya untuk melakukan transaksi ekonomi dengan orang non muslim sekalipun. Pendek kata, ekonomi syariah sebenarnya benar-benar telah dibangun dan ditata pondasinya oleh para nabi dari nabi yang pertama (Adam As) sampai nabi terakhir (Muhammad Saw). Hal ini telah lebih dulu berjalan mengingat Nabi Muhammad saw sendiri sebelum diangkat menjadi nabi dan Rasul Allah, pernah menjadi pebisnis dengan sistem kongsi mudharabah dengan Khadijah binti Khuwalid yang kemudian menjadi isteri tercinta beliau. Lagi pula, ketika Muhammad saw diangkat menjadi nabi dan rasul, beliau telah mengenal sistem pasar yang ada di zamannya semisal pasar Ukazh dan lain-lain[19]. Konsep yang sangat ditekankan dalam ekonomi syariah adalah dengan asas keadilan dan pemerataan kesejahteraan ekonomi. Yang diajarkannya, hal ini tampak dalam mempertahankan keseimbangan antara hak-hak ekonomi individu di satu pihak dan sekaligus melindungi hak-hak sosial ekonomi masyarakat di pihak lain adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya[20].
       Dalam konteks tata hukum di Indonesia sebagai bagian sejarah transformasi ekonomi Islam dalam sistem perbankan nasional, dapat dilihat kedudukan ekonomi syari`ah khususnya dalam hal ini perbankan syari`ah sebagai mana yang diatur dalam Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang perbankan Undang-Undang. Perbankan No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.[21]Sumber hukum dasar tertulis sebagai sandaran ekonomi syariah paling utama dan pertama dalam sistem hukum Indonesia kontemporer adalah ketentuan Pasal 29 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Adapun sandaran sumber hukum paling utama dalam konteks sistem hukum ekonomi saat ini adalah Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 dengan segala produk peraturan pelaksanaannya berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Bank Indonesia atau Keputusan Bank Indonesia yang dasarkan pada ketentuan langsung Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 dan ketentuan Pasal 4 ketetapan MPR No.III/MPR/2000.[22] 
       Eksistensi perbankan syari`ah dewasa ini telah terjamin secara hukum dan perundang-undangan. Alasannya, karena pengakuan akan keberadaan dan posisi bank syari`ah telah diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang sistem perbankan nasional. Seperti yang diringkaskan oleh Wahyu Dwi Agung : “antara lain memberi wewenang kepada Bank Indonesia untuk melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengembangan serta melakukan pengelolaan moneter melalui perbankan syari`ah dengan menggunakan instrumen yang sesuai dengan prinsip syari`ah[23].
       Diktum lain dari Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan Syari`ah di Indonesia ialah bagian umum dari penjelasan Undang-undang tersebut yang antara lain menegaskan: “sementara itu, peranan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari`ah perlu ditingkatkan untuk menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat[24]. Aplikasi sistem perbankan Indonesia, untuk sandaran legitimasi dan kepastian hukum secara yuridis formal tidak kurang dari sepuluh pasal di dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 telah menentukan bahwa regulasi kebijakan perbankan sepenuhnya dikuasakan pada otoritas Bank Indonesia.[25] Sebaliknya regulasi yang dikuasakan dalam bentuk Peraturan Pemerintah hanya terdapat lima pasal saja.[26]Bahkan, produk regulasi pada tingkat yuridis teknis selain berupa Peraturan Pemerintah dan produk putusan Bank Indonesia, juga dalam bentuk Dewan Syariah Nasional.[27]
       Pemberlakuan Hukum Islam di bidang muamalat  khususnya perbankan syariah mempunyai arti tersendiri bagi umat Islam Indonesia. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, ketentuan hukum Islam di bidang muamalat belum dapat dikatakan diakui dalam tata hukum nasional. Namun sejak lahirnya Undang-Undang No.7 Tahun 1992 Tentang Pebankan yang diikuti dengan Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, dan kemudian lahir Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Syariah yang merupakan amandemen atas Undang-Undang No.7 Tahun 1992 serta Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan syari’ah dan diperkuat dengan beberapa peraturan dari Bank Indonesia, maka dapat dikatakan penerapan hukum Islam di bidang muamalat di Indonesia secara yuridis formal telah diakui eksistensinya. Adanya hubungan yang cukup baik antara umat Islam dengan Negara dan juga telah diterimanya asas tunggal Pancasila dalam kehidupan berorganisasi dan Politik, maka yang semula politik hukum Indonesia secara politik hukum pada masa awal orde baru kurang responship bahkan memarginalkan hukum Islam.[28]
       Sedikit demi sedikit atau pelan tetapi pasti hukum Islam diberi tempat dalam tata hukum nasional, [29]  dimulai dengan lahirnya Undang - Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan khususnya perbankan syariah juga diberikan landasan hukum yang kuat yaitu Undang- Undang No.7 tahun 1992 tentang Bank bedasarkan prinsip bagi hasil dan kemudian diubah dengan Undang - Undang No.10 tahun 1998 Tentang Perbankan syariah. Secara historis-sosiologis, hukum Islam sebagai bagian tidak terpisahkan dari ajaran Islam dan menjadi norma masyarakat sejak masuknya Islam ke Nusantara abad 1 H/7 M. yang diberi wewenang untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah adalah Pengadilan Agama, termasuk di dalamnya perbankan syari’ah walaupun masih diberi jalan untuk ke Pengadilan Negeri.[30]Bahkan, tuntutan terhadap existensi hukum Islam di Indonesia telah terbukti menjadi bagian penting dalam pergulatan pemikiran dan perkembangan hukum nasional selama masa kolonial.[31]
       Melihat peristiwa lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang sistem perbankan nasional yang dapat dibilang berjalan dengan mulus tanpa ada hambatan dari pihak manapun, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum Indonesia di masa sekarang ini sangat akomodatif dan responsif terhadap hukum Islam dan menerima penerapan hukum ekonomi Islam, khususnya Perbankan Syariah. Perbankan Syariah di masa sekarang dan masa yang akan datang tidak lagi bergantung kepada ligitimasi yuridis formal, tetapi pengembangan perbankan syariah di masa datang lebih ditentukan oleh adanya kesadaran beragama dari umat Islam, artinya adanya pengakuan dan ketaatan  setiap umat Islam yang disertai dengan keyakinan dan kesadaran terhadap pelaksanaan hukum Islam, khususnya hukum ekonomi Islam.[32] Menurut penulis keyakinan dan kesadaran terhadap hukum Islam akan membawa pengembangan dan kemajuan terhadap ekonomi Islam dalam hal ini adalah Perbankan Syariah.
        Dalam sebuah perjalanan pemerintah atau negara, hukum tidak dapat dipisahkan dengan politik, apabila dilihat dari tatanan politik hukum. Di satu sisi hukum itu dibuat sesuai dengan keinginan para pemegang kebijakan politik, sementara disisi lain para pemegang kebijakan politik harus tunduk dan bermain politik berdasarkan aturan hukum yang telah ditetapkan oleh lembaga yang berwenang. Oleh karena itu antara politik dan hukum terdapat hubungan yang sangat erat dan merupakan “two faces or a coin” (dua sisi mata uang).[33] Selanjutnya yang dimaksud dengan politik hukum Islam di Indonesia adalah legal policy substansional ajaran syari’ah yang dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia  yang meliputi pembangunan hukum yang berintikan pembentukan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan serta pelaksanaan hukum yang sudah ada.[34] Menurut Mahfud MD bahwa hukum merupakan produk politik, sehingga karakter produk hukum sangat ditentukan oleh perimbangan kekuatan politik (konfigurasi politik).[35]
        Dalam perkembangan hukum di Indonesia, terutama yang menyangkut perkembangan penerapan hukum Islam, hukum Islam mengalami pasang surut mengikuti arah politik yang ada pada waktu itu. Pada masa pemerintahan Belanda misalnya, ada sebuah teori yang sangat berpengaruh bagi Pemerintah Kolonial Belanda didalam pembentukan hukum di Indonesia yang dikenal dengan teori receptie.[36] Pengaruh teori receptie ini masih melekat pada masa awal kemerdekaan atau pada masa pemerintahan orde lama, dan bahkan sampai pada masa pemerintahan orde baru  1967-1998.[37]Pada masa Orde Baru ini konsep pembangunan hukum diarahkan pada konsep kesatuan hukum nasional, dimana hukum agama (Islam) yang dianut mayoritas rakyat Indonesia tidak dengan serta merta dapat dijadikan sebagai hukum yang berlaku. Selanjutnya pada masa reformasi (1999-sekarang), politik hukum Islam di Indonesia antara lain berisi menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum Agama  dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif melalui program legislasi.[38]
       Politik hukum Negara Republik Indonesia dewasa ini tidak lagi dipengaruhi oleh teori receptie yang oleh Hazairin disebut sebagai teori Iblis,[39] Negara Indonesia yang berfalsafah Pancasila, melindungi Agama dan penganut agama, bahkan berusaha memasukkan ajaran dan hukum Agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Muhammad Hatta salah seorang The Founding Father menyatakan, dalam pengaturan Negara hukum Republik Indonesia syariat Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan Hadits dapat dijadikan peraturan perundang-undangan Indonesia.[40] Meskipun teori receptie pada pemerintahan saat ini pada rezim reformasi boleh dikatakan tidak berpengaruh lagi dalam politik hukum Indonesia, bahkan dibilang telah mati, namun Mahadi mengingatkan bahwa kendatipun teori receptie telah mati, namun Substansinya masih ada di alam pikiran sarjana hukum Indonesia.[41]

C. Analisis Sengketa Kewenangan Pengadilan Dalam Menangani Perkara Ekonomi Islam
        Undang-Undang No. 1 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah yang terdapat pada pasal 5 UU No. 21 Tahun 2008 mengatur cara-cara menyelesaikan sengketa ekonomi syariah melalui atau diluar proses peradilan, dalam undang-undang tersebut memberikan peluang kepada para pihak untuk mengajukan perkara kepada peradilan Agama atau Peradilan umum, sehingga para ahli berpendapat bahwa Peradilan Agama tidak mempunyai kompetensi yang absolut karena dimungkinkan adanya choice of  forum. Inilah perdebatan mengenai sengketa kewenangan dua forum kekuasaan peradilan dalam menangani sengketa ekonomi Islam. Para ahli mengatakan bahwa keputusan yang ada dalam undang-undang tersebut pada kewenangan mengenai penanganan sengeketa ekonomi syariah bernilai ketidak pastian hukum. Sebagaimana yang diungkapkan oleh berbagai ahli, berikut ini :
Pertama, Menurut Bagir Manan bahwa substansi dalam UU Perbankan tersebut menjelaskan “equity before the law” yang mengandung makna setiap orang tunduk pada hukum substantif dan prosedural yang sama dan setiap sengketa diselesaikan oleh forum yang sama. Dengan demikian tidak semestinya ada forum yang berbeda dan bebas dipilih (choice of forum) oleh pihak yang berperkara suatu pilihan opportunistic bukan saja akan menimbulkan disparitas dan ketidakpastian hukum, melainkan juga akan menimbulkan kekacauan hukum (legal disorders). )[42]
Kedua, Abdul Gani Abdullah, Ketika ada sengketa ekonomi syariah maka pertanyaannya hukum manakah yang akan di terapkan ?, maka dua hal yang perlu kepastian jawabannya yaitu choice of law dan  choice of forum, pertanyaan tersebut mengandung choice of law. Di dalam pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang peradilan agama ditentukan bahwa pengadilan agama betugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara-perkara di tingkat pertama, dengan demikian kesamaan hukum yang di maksud adalah yang di terapkan sesuai dengan prinsip choice of law itu berarti semua subyek hukum choice of lawnya dalam perkara ekonomi syariah tunduk atau munundukan diri (vrijwillege onderweving) pada prinsip syariah[43]
Ketiga, Veithzal Rivai, bahwa untuk menopang ekonomi Islam secara menyeluruh dapat dilakukan dengan cara membuat regulasi khusus atau melakukan revisi atau amandemen atas perundang-undangan yang sudah ada menyangkut hukum ekonomi secara umum sehingga dapat mengakomodir kekosongan hukum ekonomi Islam, dan berharap dalam waktu yang tidak terlalu lama mampu melahirkan Undang-Undang Dual Economic System, sebagai payung hukum semua bisnis Islam di Indonesia.[44]
Keempat, Wahyu Widiana Kelahiran UU No. 3 Tahun 2006 yang kemudian diubah dengan UU No. 50 Tahun 2009 Tentang perubahan kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dipandang banyak pihak sebagai blessing in disguese meski sangat terlambat jika dibandingkan dengan peradilan yang lainnya, hal tersebut tidak terlepas dari dinamika kepentingan politik yang menyelimuti kompetensi Peradilan Agama dalam perkara ekonomi syariah.[45]
         Kelima, menurut pendapat ketua Himpunan Ilmuwan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI). “Usulan pemerintah itu bertentangan dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama yang memberi kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah,” kata Ketua HISSI Prof. Amin Suma, mengatakan Pada Pasal 49 UU Pengadilan Agama (UU PA) memang menyebutkan, salah satu kompetensi PA adalah menyelesaikan sengketa dibidang ekonomi syariah. Dalam hal ini ekonomi syariah dirinci menjadi 11 jenis. Salah satunya adalah perbankan syariah. [46]
   Dari berbagai pendapat para ahli yang telah dikemukakan penulis dapat mengambil beberapa benang merah dalam problematika sengketa kewenangan peradilan di dalam menangani perkara ekonomi syariah, yaitu :
Pertama, Sebagaimana yang kita ketahui pada UU No 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, bahwasanya pada UU tersebut adanya penambahan kompetensi Peradilan Agama terhadap ekonomi syari`ah, maka sudah sepatutnya kita mengikuti peraturan per UU yang berlaku. Dengan kata lain, maka penyelesaian sengketa ekonomi syari`ah sudah sepantasnya di selesaikan pada Peradilan Agama. di sisi lain, pengadilan negeri juga tidak sesusai untuk menangani kasus sengketa lembaga keuangan syariah. Pasalnya, bagaimana pun lembaga ini memiliki dasar-dasar hukum penyelesaian perkara yang berbeda dengan yang dikehendaki pihak-pihak yang terikat dalam akad syariah. Pengadilan Negeri tidak menggunakan syariah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian sebuah perkara.
Kedua, di lain pihak Peradilan Agama pada dasarnya menyelesaikan sengketa antara orang-orang yang beragama Islam dan tunduk pada hukum Islam, dalam hal ini ekonomi syari`ah mewajibkan para pihak untuk tunduk pada hukum Islam, jadi Peradilan Agama lah yang lebih pantas menyelesaikan sengketa melalui pengadilan. Yang mana hal ini semakin menambah kewibawaan Peradilan Agama sebagai salah satu lembaga judex facti yang berada di bawah naungan Mahkamah Agung. Sementara itu disisi lain, kita harus melihat secara objektif, apakah akan terjadi pengunduran/peningkatan jika ekonomi syari`ah termasuk kewenangan Peradilan Agama
Ketiga, Bahwa bisakah Apakah boleh ada dua forum untuk menyelesaikan  sengketa untuk suatu hukum substansitif yang sama, dan subjek hukum yang sama ? untuk mencegah hal –hal sengketa antar wewenang (dispute aouthority) terjadi seyogyanya lembaga peradilan berpegang teguh pada prinsip  “apabila suatu urusan (perkara) telah diselesaikan oleh salah satu pemegang kompetensi, maka pemegang kompetensi yang lain tidak lagi berwenang mengurus atau menyelesaikan sengketa yang sama.” Hal tersebut untuk mencegah adanya pilihan opportunistic sehingga menyebabkan terjadinya sengketa antar wewenang dan hal tersebut sudah terjadi setelah di berlakukannya undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan syariah tersebut.
  
F.  Penutup

Kesimpulan :

       Pertama, Transformasi ekonomi Islam ke dalam sistem perbankan nasional berjalan dengan baik, oleh karena sistem politik nasional sudah bersifat akomodatif sehingga memberikan sarana baru di dalam menjalankan ajaran agama Islam dalam hal bermuamalah bagi segenap masyarakat muslim di Indonesia.
       Kedua, kewenangan Pengadilan Agama di dalam menangani sengketa ekonomi syariah secara substansial tidak memberikan kewenangan absolut, oleh karena Pengadilan Negeri dapat juga mengangani sengketa tersebut. oleh karena itu sengketa kewenangan pengadilan di dalam menangani perkara ekonomi syariah berpotensi besar terjadi, jika dua forum pengadilan yang berikan kekuasaan untuk  menangani perkara tersebut mempunyai sudut pandang yang berbeda.

Saran :
       Pertama, Pemerintah dalam hal ini harus mendorong pertumbuhan perbankan Islam dalam bentuk regulasi sebagai bagian dari perkembangan transformasi ekonomi Islam dalam perbankan nasional. Sehingga prospek ekonomi Islam di masa yang akan datang akan menjadi bagian pertumbuhan ekonomi nasional, bukan sebagai alternatif perekonomian nasional.
      Kedua, kepada pemerintah kiranya perlu amandemen undang-undang perbankan syariah terutama dalam pemberian kewenangan Peradilan Agama diberikan kewenangan absolut guna mencegah terjadinya sengketa kewenangan dan menutup keumungkinan para pihak mengambil kesempatan dalam sengketa. Disparitas pemahaman antara dua forum pengadilan yang diberikan kewenangan harus dijaga dengan komunikasi yang baik, agar terjadi sinergitas di dalam menangani sengketa ekonomi syariah.
  
Daftar Pustaka 
Buku

Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Cet ke-10, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014.
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam
HukumIndonesia, Cet ke-2, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2012.

Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam di Indonesia, Bina
Ilmu, Yogyakarta, 1980; Noto Susanto, Organisasi dan Jurispridensi Peradilan Agama di Indonesia, Gajah Mada, Yogyakarta, 1963.

Ahmad Azhar Basyir,”Hukum Islam Di Indoensia Dari Masa Ke Masa,” dalam Dadan Muttaqin,et.all (ed) Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta, UII Press, 1999.
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, PT. Raja Grafindo persada, Jakarta, 2011.

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Cet ke-2, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2011.
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, Cet ke-2, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2012.
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum,Rineka Cipta, Jakarta, 2007.
Black Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul-Minnessota, 1990.
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata hukum Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1989.
Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian
Syariah di Indonesia, Op.Cit., Hlm. 21

Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama dalam Penyelesaian Perkara Sengketa Ekonomi Syariah, Gramata Publishing, Jakarta, 2010.
Ichtijanto SA, Prospek Peradilan Agama Sebagai Peradilan Negara Dalam Kehidupan Umat Islam, Jakarta, PP IKAHA, 1994.

Mardani, Kejahatan dalam Hukum Pidana Islam , Jakarta, In Hill Co. 2008.

Morris. L. Cohen & Kent C. Olson, Legal Research. (West Publishing Company,
st. Paul, Minn. 1992).

Muhammad Amin Suma, Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam, Tanggerang, Kholam, 2008.
Mohd.Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia,  Jakarta, LP3ES, 1998,
Muhammad Daud Ali-Habibah Daud, Lembaga-Lembaga Islam Di Indonesia,  Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,1995.
M.Solly Lubis, Politik Dan Hukum Di Era Reformasi, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet ke-9, Kencana Prenadamedia
Group, Jakarta, 2014.

Philipus M. Hardjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (normatif), Universitas
Hukum Airlangga, Surabaya, 1994.

Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah Produk – Produk dan Aspek – Aspek Hukumnya, PT. Jayakarta Agung  Offset, Jakarta, 2010,

Rifyal Ka’bah, Hukum Islam Di Indonesia, Universitas Yarsi,Jakarta, 1999.


Makalah dan Media Internet :

Abdul Gani Abdullah, “Penegakan Hukum sengketa Ekonomi Syariah Di
Indonesia” Disampaikan pada acara seminar nasional yang di selenggarakan Himpunan Ilmuwan Dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI). Pada Tanggal. 18 Juni 2011

M. Amin Suma, , “Penegakan Hukum sengketa Ekonomi Syariah Di Indonesia
Disampaikan pada acara seminar nasional yang di selenggarakan Himpunan Ilmuwan Dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI). Pada Tanggal. 18 Juni 2011.

www.Google.com/badilag Tanggal. 30 Desember 2015.

Peraturan Perundang-undangan :


Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)
Produk Fatwa DSN ini sampai Tahun 2000 tidak kurang dari 20 fatwa. Lihat DSN MUI dan BI, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional Untuk Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: DSN MUI dan BI, 2001).




[1] Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Cet ke-10, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014, Hlm. 25.
[2] Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, Cet ke-2, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2012, Hlm. 111-112.
[3] Kajian mendalam tentang Peradilan Agama di Indonesia, terj. Zaini Ahmad Noeh, Intermasa, Jakarta, 1986; Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam di Indonesia, Bina Ilmu, Yogyakarta, 1980; Noto Susanto, Organisasi dan Jurispridensi Peradilan Agama di Indonesia, Gajah Mada, Yogyakarta, 1963.
[4] Abd. Shomad, Op.,Cit, Hlm. 112.

[5] Morris. L. Cohen & Kent C. Olson, Legal Research. (West Publishing Company, st. Paul, Minn. 1992). Hlm. 1.
[6] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet ke-9 (Kencana Prenadamedia Group, Jakarta: 2014) hlm. 60.
[7] Menurut Black’s Law Dictionary “legal research” diartikan sebagai:
a.       The finding and assambling of authorities that bear on a questions of law.
b.       The field of study concerned with the effective marshalling of authorities that bear on a questions of law.
[8] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Op.,Cit. hlm. 37.
[9] Hukum adalah asas moralitas atau asas keadilan yang bernilai universal dan menjadi bagian inheren sistem hukum alam, dan hukum adalah kaidah-kaidah positif yang berlaku umum pada suatu waktu tertentu dan disuatu wilayah tertentu dan menjadi sumber suatu kekuasaan politik tertentu yang berletigimasi. Kedua konsep hukum ini dalam literatur-literatur disebut sebagai konsep konsep normatif. Lihat. Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Rineka Cipta, Jakarta: 2007) hlm. 32-33.
[10] Philipus M. Hardjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (normatif), (Universitas Hukum Airlangga, Surabaya: 1994) hlm. 32.

[11] Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Op,Cit.,hlm. 39.
[12] Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah Produk – Produk dan Aspek – Aspek Hukumnya, PT. Jayakarta Agung  Offset, Jakarta, 2010, Hlm. 233.
[13] Hal-hal yang dianggap penting dalam penerapan asas hukum perikatan Islam ke dalam Perundang-udangan Negara yang mengatur Perbankan Syariah adalah penggunaan asas-asas tersebut dalam klausul kontrak, penerapan dan pelaksaanaannya dalam perbankan syariah yang tidak hanya harus sesuai dengan prinsip syariah akan tetapi juga tunduk pada hukum Positif Indonesia, lihat Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Op.Cit., Hlm. 211.
[14] Kalangan ahli hukum pada umumnya berpandangan bahwa sumber  hukum material dapat ditinjau dari berbagai sudut, mulai dari sudut ekonomi, sejarah, dan sosiologi sampai pada sudut filsafat dan lain sebagainya. Adapun sumber formal yang dikenal dalam ilmu hukum, adalah terdiri dari UU (statute, perundang-undangan) kebiasaan (hukum adat,costum, common law), keputusan-keputusan hakim (judge law, jurisprudentie) traktat (perjanjian, Treaty) dan pendapat sarjana hukum (doktrin). C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, Hlm. 46.
[15] Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, PT. Raja Grafindo persada, Jakarta, 2011, Hlm. 462.
[16] Abd. Shomad, Op.,Cit, Hlm. 1-2.
[17] Istilah hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan dari al-fiqh al-Islami, istilah ini dalam wacana ahli hukum Barat digunakan Islamic law. Dalam Al-Qur’an maupun As-sunnah tidak dijumpai, yang digunakan adalah kata syariah yang dalam penjabarannya kemudian lahir istilah fiqh. Antara syariah dan fiqh memiliki hubungan yang sangat erat. Karena fiqh formula yang dipahami dari syariah. Syariah tidak dapat dipahami dengan baik, tanpa melalui fiqh atau pemahaman yang memadai, dan diformulasikan secara baku. Fiqh sebagai hasil usaha memadai, sangat dipengaruhi oleh tuntutan ruang dan waktu yang meliputi faqih (jamak fuqoha) yang memformulasikannya. Karena itulah sangatlah wajar jika kemudian terdapat perbedaan-pebedaan dalam rumusan mereka. Lihat Mardani, Kejahatan dalam Hukum Pidana Islam , Jakarta, In Hill Co. 2008, Hlm. 60.
[18] Muhammad Amin Suma, Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam, Tanggerang, Kholam, 2008, Hlm. 49.

[19]  Ibid,. Hlm. 91.
[20]  Ibid., Hlm. 146.
[21] Ibid., Hlm. 2.
[22] Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama dalam Penyelesaian Perkara Sengketa Ekonomi Syariah, Gramata Publishing, Jakarta, 2010, Hlm. 95.
[23]  Ibid., Hlm. 370.
[24]  Ibid., hlm. 371.
[25]  Otoritas kebijakan regulasi ini, dalam UU No.10 Tahun 1998 antara lain terdapat dalam ketentuan Pasal 6 (m) Pasal 7 (c) pasal (8) Pasal 13 (c) Pasal 16 (3) Pasal 18 (4) Pasal 19 (2) Pasal 22 (2) dan pasal 33 (2).
[26] Fakta Yuridis ini, dalam UU No. 10 Tahun 1998 terdapat dalam  ketentuan Pasal 12 (2),  Pasal 12A (2) Pasal 29 (5) dan Pasal 33 (2).
[27] Produk Fatwa DSN ini sampai Tahun 2000 tidak kurang dari 20 fatwa. Lihat DSN MUI dan BI, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional Untuk Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: DSN MUI dan BI, 2001).
[28] Sikap pemerintahan orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto terhadap Islam (hukum) dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu : 1) Fase Antagonis ( 1966-1981), yakni sikap antipati dan mencurigai terhadap umat Islam, 2) Fase Resiprokal ( 1982-1985 ), yakni sikap saling memberi angin dan tidak bersebelahan lagi dengan umat Islam, 3) Fase Akomodatif ( 1986-1999),yakni sikap yang semakin baik dan mesra hubungan umat Islam dengan pemerintah.
[29] Rifyal Ka’bah, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, Universitas Yarsi, 1999, Hlm. 69.
[30] www.Google.com/badilag Tanggal. 30 Desember 2015.
[31] Ahmad Azhar Basyir,”Hukum Islam Di Indoensia Dari Masa Ke Masa,” dalam Dadan Muttaqin,et.all (ed) Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta, UII Press, 1999, Hlm. 7-13.
[32] www.Google.com/badilag tanggal. 30 Desember 2015.
[33]M.Solly Lubis, Politik Dan Hukum Di Era Reformasi, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2003, Hlm. 43.

[34]Mohd.Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia,  Jakarta, LP3ES, 1998, Hlm. 9.
[35] Ibid., Hlm. 15.
[36] Receptie adalah suatu teori yang dipelopori oleh Christian Snouck Hurgronje. teori tersebut menyatakan bahwa yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat asli. Oleh karena itu hukum Islam baru bisa berlaku jika telah diterima oleh hukum adat. Sebagai reaksi atas teori ini lahir teori tanpa nama yang dipelopori oleh Hazairin,Teori ini menyatakan yang berlaku di Indonesia adalah hukum Islam, hukum adat bisa berlaku jika diakui oleh hukum Islam. lihat M.Solly Lubis, Politik Dan Hukum Di Era Reformasi,Op.,Cit. Hlm. 43.
[37] Orde Lama adalah sebutan rezim Soekarno (1945-1965), sedangkan Orde Baru sebutan rezim Soeharto (1967-1998).Orde Baru merupakan reaksi dan koreksi terhadap praktek pemerintahan orde lama yang menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945, dan bertekad untuk mengabdi kepada kepentingan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. lihat M.Solly Lubis, Politik Dan Hukum Di Era Reformasi,Ibid., Hlm. 43.
[38]Masa Reformasi adalah sebutan rezim setelah pemerintahan Soeharto (orde baru) tumbang, yang diawali oleh Pemerintahan Baharudin Jusuf Habibie, dengan slogan pemberantasan KKN dan penegakan supremasi hukum serta pembentukan masyarakat madani.
[39]Disebut teori iblis karena sangat bertentangan dengan kehendak Allah dan RasulNya.
[40] Ichtijanto SA, Prospek Peradilan Agama Sebagai Peradilan Negara Dalam Kehidupan Umat Islam, Jakarta, PP IKAHA, 1994, Hlm. 258.
[41] Muhammad Daud Ali-Habibah Daud, Lembaga-Lembaga Islam Di Indonesia,  Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,1995, Hlm.115.
[42] Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama dalam penyelesaian perkara sengketa ekonomi syariah, (Jakarta, Gramata Publishing, 2010) Hlm. 10.
[43] Abdul Gani Abdullah, “Penegakan Hukum sengketa Ekonomi Syariah Di Indonesia” Disampaikan pada acara seminar nasional yang di selenggarakan Himpunan Ilmuwan Dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI). Pada Tanggal. 18 Juni 2011
[44] Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama dalam penyelesaian perkara sengketa ekonomi syariah, Hlm. 23.
[45] Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama dalam penyelesaian perkara sengketa ekonomi syariah, Hlm. 17.
[46] M. Amin Suma, , “Penegakan Hukum sengketa Ekonomi Syariah Di Indonesia” Disampaikan pada acara seminar nasional yang di selenggarakan Himpunan Ilmuwan Dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI). Pada Tanggal. 18 Juni 2011.