TRANSFORMASI EKONOMI ISLAM DALAM SISTEM HUKUM
PERBANKAN NASIONAL DAN PROBLEMATIKA KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA
Taufik Kurrohman
E-mail: taufik.qman@yahoo.com
ABSTRAK
Kajian ini bertujuan membahas transformasi Ekonomi
Islam dalam sistem hukum nasional, dan problematika konflik mengenai kewenangan
Peradilan Agama dalam menangani perkara sengketa ekonomi syariah, karena
kewenangan absolut peradilan agama dibatasi dengan adanya membuka ruang jika
para pihak bersepakat jika terjadi sengketa maka dapat diajukan pada Pengadilan
Negeri, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum secara normatif. Kajian ini
menggunakan pedekatan yuridis normatif dan emperis. Hasil penelitian menunjukan
pertama, transformasi ekonomi Islam dalam sistem hukum nasional berhasil
dilakukan dengan baik; kedua, terjadi ketidakpastian hukum dalam memberikan
kewenangan absolut kepada Peradilan Agama di dalam menangani sengketa ekonomi
syariah.
Kata Kunci: Ekonomi Islam, Hukum Nasional, Kewenangan
absolut
Peradilan Agama.
ABSTRACT
This study aims to discuss the transformation of Islamic
Economics in the national legal system, and the problems of conflict regarding
the authority of the Religious Court in handling cases of dispute sharia
economy, because the absolute authority of religious courts is limited by the
open space if the parties agree in case of a dispute, it can be filed in the
District Court, giving rise to legal uncertainty normative. The study used normative and empirical. The results showed
first, the economic transformation of Islam into the national legal system
successfully carried out properly; second, there is legal uncertainty in
delivering the absolute authority to the Religious Court in handling disputes
sharia economy.
Keywords: Islamic
Ekonomic, National Legal system, the authority of the
Religious Court
A. Pendahuluan
A.
Peraturan dan
Latar Belakang Lahirnya Lembaga Pembiayaan Perbankan Syariah di Indonesia
Di Indonesia Bank Syariah pertama kali
didirikan pada tahun 1992 adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI). Walaupun
perkembangannya sedikit terlambat dengan negara-negara Muslim lainnya,
perbankan syariah di Indonesia akan terus berkembang. bila pada periode tahun
1992-1998 hanya ada satu unit Bank Syariah, maka pada tahun 2005, jumlah bank
syariah di Indonesia telah bertambah menjadi 20 unit, yaitu 3 bank umum syariah
dan 17 unit usaha syariah. Sementara itu, jumlah Bank Perkreditan Rakyat Syariah
(BPRS) hingga akhir tahun 2004 bertambah menjadi 88 buah.[1]
Perbankan tanpa bunga sebagai lembaga
intermediasi mulai diakui dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (LN. 1992 No. 31) dan sebagai aturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank
Berdasarkan Bagi Hasil. Dengan adanya perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan (LN. 1998 No.182). dan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
Perkembangan bank syariah di Indonesia
tidak terlepas dari situasi politik yang melingkupi kehadirannya dan masalah
yuridis yang berkenaan dengan persentuhan antara hukum syariah dengan hukum
nasional dan hukum barat, maka mau tidak mau bank syariah harus menyesuaikan
dengan habitat barunya. Perbankan syariah modern diawali saat pendirian BPR
Dana Mardhatillah dan BPR Berkah Amal Sejahtera pada tahun 1991 di Bandung,
yang diinisiasi oleh Institute for Syariah for Economic Depelovment (ISED).[2]
Pembangunan bank syariah dipengaruhi oleh pemikiran dan upaya para ulama, ahli
ekonomi Islam baik secara individu maupun institusional serta perkembangan dan
kemajuan perbankan syariah internasional. Perkembangan bank syariah di
Indonesia tidak terlepas dari perkembangan Peradilan Agama.[3]Hal
ini bukan hanya dikarenakan masalah perkara perbankan syariah menjadi
kewenangan pengadilan agama, namun pluktuasi penerapan syariah dalam berbagai
aspek hukum dapat juga ditelaah dari fluktuasi kewenangan Pengadilan Agama.
Dengan diundangkannya UU No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan yang mengubah UU No. 14 tahun 1967 tentang pokok
perbankan, lebih lanjut dikeluarkan PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank dengan
Prinsip Bagi Hasil. UU No. 7 Tahun 1992 kemudian diamandemen dengan UU No. 10 Tahun 1998. Menindaklanjuti
perubahan UU No. 10 1998, BI pada tahun 1999 mengeluarkan ketentuan mengenai
proses pendirian dan jaringan bank umum syariah (BUS), pengaturan bank umum
konvensional (BUK) yang membukan unit usaha syariah (UUS). Pendirian Kantor
Cabang Syariah (KCS), dan pendirian Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS).
Tahun 2004 tentang Perluasan Unit Usaha Syariah (UUS), khususnya bagi bank
umum.[4]
Undang-Undang No. 1 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah yang terdapat pada pasal 5 UU No. 21 Tahun 2008 mengatur cara-cara
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah melalui atau diluar proses peradilan,
dalam undang-undang tersebut memberikan peluang kepada para pihak untuk
mengajukan perkara kepada peradilan Agama atau Peradilan umum, sehingga para
ahli berpendapat bahwa Peradilan Agama tidak mempunyai kompetensi yang absolut
karena dimungkinkan adanya choice of
forum, akan tetapi hal tersebut di bantah oleh Prof. Dr. Bagir Manan,SH,
M.CL “bahwa pendapat tersebut adalah merupakan pendapat yang menyesatkan
(misleading) Bukan forum yang melahirkan kompentensi absolut, melainkan hukum
substansif yang akan diserahkan dan subjek yang akan menjadi pihak dalam
sengketa atau perkara.” Meskipun ada dua atau lebih forum yang berbeda tidak
serta merta tidak memiliki kompetensi absolut. Namun karena hukum substantif
yang akan ditegakkan sama, maka terjadi yang disebut dengan Concurent
authority (kekuasaan bersama) sehingga dimungkinkan akan terjadinya
sengketa antar wewenang (dispute authority).
B. Permasalahan
Berdasarkan
latar belakang yang telah diuraikan tersebut, pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah pertama, bagaimana
transformasi ekonomi Islam dalam sistem hukum nasional; kedua, bagaimana
kewenangan dua forum kekuasaan peradilan menangani sengketa hukum substantif
yang sama dan objek yang sama ?
C. Tujuan
dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan pokok
permasalahan tersebut maka tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui transformasi
hukum Islam masuk dalam sistem hukum nasional. Disamping itu agar dapat
memahami mengenai problematika kewenangan absolut yang dapat berpotensi
sengketa antar wewenang dengan adanya kewenangan yang diberikan kepada dua
forum keuasaan peradilan. Kegunaan penelitian secata teoritis sebagai bagian
masukan yang dapat bermanfaat bagi perkembangan ekonomi Islam di masa yang akan
datang. Dan bagi pembaca sebagai bagian dari khajanah perkembangan hukum
perbankan nasional dan sistem peradilan yang ada di Indonesia.
D. Metode Penelitian
Menurut Morris L.
Cohen, Legal Research is the process of finding the laws that governs
activities in human society”[5] dan
menurut Peter Mahmud Marzuki[6]
penelitian hukum (legal research)[7]
merupakan suatu proses ilmiah untuk mencari pemecahan atau isu hukum yang
muncul dengan tujuan untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya
atau isu hukum yang muncul tersebut. Selanjutmya berdasarkan beberapa pandangan
dan pengertian yang dikemukakan beberapa penulis antara lain Morris L. Cohen,
Enid Campbell, Lan McLeod, Terry Hutchinson, Jan Gijssels dan Mark van Hoecke.[8]
Hukum adalah sebuah konsep dan tidak ada konsep yang tunggal mengenai
hukum.[9]penelitian
hukum normatif digunakan
dalam analisis Penelitian ini, karena dilandasi oleh karakter
khas ilmu hukum itu sendiri yang terletak pada metode penelitiannya, yaitu
penelitian yang bersifat normatif hukum.[10]Dalam
penelitian hukum diperlukan metode pendekatan yang dimaksudkan untuk
mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu hukum yang sedang dicoba
untuk dicari jawabannya. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan untuk
menganalisis permasalahan dalam penelitian ini meliputi :[11]
Pendekatan koseptual (Conseptual approach)
berdasar dari pendapat ahli (doktrin) yang terkait dengan materi hukum perbankan,
Pendekatan undang-undang (statute approach) terutama difokuskan pada ketentuan Undang-undang
serta peraturan Bank Indonesia mengenai Perbankan Syariah, Pendekatan kasus (case
approach) dilakukan dalam menganalisis kasus-kasus wanprestasi yang terjadi
pada perbankan
syariah dan diputus oleh Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri,
sedangkan Pendekatan perbandingan (comparative appraoch) sebagai bagian
pendekatan pelengkap komparasi
hukum nasional dan hukum Islam dalam transaksi kontrak/akad
perbankan syariah
yang berakhir dengan sengketa di pengadilan.
Dari pendekatan tersebut dimaksudkan
penulis mendapatkan sumber yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan di dalam
melakukan penelitian ini. Hal yang tidak kalah penting juga berkaitan dengan
sejarah lahirnya perbankan Islam sebagai bagian yang akan penulis ungkapkan
dalam penulisan ini, karena aspek sejarah merupakan hal yang tidak akan
terlepas dari perkembangan ekonomi Islam dewasa ini. Studi komparatif terhadap
fatwa-fatwa yang disampaikan Majelis Ulama indonesia menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari undang-undang Perbankan Syariah. Sehingga menurut pendapat
penulis hal tersebut juga menjadi bagian yang akan dielaborasi lebih jauh dalam
penulisan penelitian ini.
Namun batasan yang jelas dalam
penelitian ini penulis berfokus pada transformasi ekonomi Islam dalam sistem
Perbankan nasional dan yang kedua
sengketa kewenangan lembaga peradilan dalam menangani perkara ekonomi Islam.
E. Pembahasan
A.
Peraturan dan
Latar Belakang Lahirnya Lembaga Pembiayaan Perbankan Syariah di Indonesia
Pemberlakuan Hukum syariah berlaku bagi semua aspek
kehidupan seorang muslim bagi perbankan berlaku juga prinsip syariah yang
diakomodir dengan Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
prinsip perbankan syariah diakui sebagai hukum positif. Pada Pasal 24 ayat (1) huruf a. Pasal 24 ayat (2)
huruf a, dan Pasal 25 huruf a Undang-undang
No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menentukan dengan tegas
bahwa bank syariah dilarang melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan
prinsip syariah. Sesuai dengan asas hukum perjanjian, sebagaimana dimuat dalam
kitab undang-undang hukum perdata, suatu perjanjian tidak boleh, antara lain
bertentangan dengan undang-undang. Apabila isi suatu perjanjian bertentangan
dengan undang-undang, maka perjanjian tersebut atau ketentuan (pasal atau ayat)
yang bertentangan dengan undang-undang menjadi batal demi hukum.[12]
Hukum
Islam sebagai salah satu sistem hukum dan sumber hukum sehingga menjadi salah satu sumber utama
bahan baku penyusunan hukum nasional mengandung cukup banyak asas yang
substansinya bersifat universal[13].
Asas-asas tersebut digunakan untuk menyusun perundang-undangan nasional,
khususnya dalam bidang hukum kontrak. Asas-asas hukum Islam di bidang hukum
kontrak sangatlah penting oleh karena fungsi kontrak sebagai bentuk nyata dalam
transaksi pada Perbankan Syariah.
Penerapan
hukum syariah dalam konteks hukum positif sebagai sumber hukum dasar nasional[14]
dapat diwujudkan dalam operasioal perbankan syariah, sebagaimana pada umumnya
setiap transaksi antara bank syariah dengan nasabah, terutama yang berbentuk
pemberian fasilitas pembiayaan, secara legal formal dituangkan dalam surat
perjanjian kredit (letter of offer). [15]Dengan
demikian para pihak yang melakukan perbuatan hukum, yaitu antara bank syariah
dengan nasabah, dapat memasukan aspek-aspek syariah dalam konteks hukum positif indonesia sesuai
dengan kesepakatan kedua belah pihak akan tetapi tidak mengurangi aspek
syariahnya.
Perkembangan syariah, hukum Islam sangat
semarak dalam era ekonomi dunia yang sedang memasuki budaya global dengan
kemajuan teknologi informatika di satu sisi dan kebangkitan nasionlisme dan
spritual di sisi lain. Dalam era ekonomi baru, dan posisi hukum semakin
diperlukan guna mengaturnya. Budaya global juga antara lain disemarakan dengan
perkembangan “Ekonomi Islam” yang merupakan serangkaian “reaktualisasi” doktrin
Islam mengenai masalah ekonomi.[16]
B. Transformasi Ekonomi Islam dalam Sistem Hukum Perbankan Nasional
Pada zaman
Rasulullah SAW. secara eksplisit belum ada institusi bank, akan tetapi Islam
pada dasarnya sudah memberikan prinsip-prinsip dan filosofi dasar yang harus
dijadikan pedoman dan aktivitas perdagangan dan perekonomian. Banyak pertanyaan
yang mewarnai lahirnya perbankan syariah di era muamalah kontemporer Apakah
konsep bank merupakan konsep asing dalam sejarah perekonomian umat Islam ?
pertanyaan ini sangat penting untuk dijawab sebagai bagian dari landasan
lahirnya Perbankan Syariah dan memberikan pengetahuan kepada masyarakat luas
yang memanfaatkan muamalah dalam perbankan syariah yang berdasarkan hukum
Islam.[17]
Ekonomi Islam/syari`ah adalah
ilmu yang membahas perihal ekonomi dari berbagai sudut pandang keIslaman baik dari sisi
filsafat maupun dari sisi etika bermuamalah terutama dari aspek hukum atau
syariahnya.[18] Menurut M.A.Mannan,
ilmu ekonomi Islam/syariah merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari
masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Hal ini tidak berarti
ekonomi Islam/syari`ah hanya diproyeksikan untuk orang-orang yang beragama
Islam saja, karena Islam membolehkan ummatnya untuk melakukan transaksi ekonomi
dengan orang non muslim sekalipun. Pendek kata, ekonomi syariah sebenarnya benar-benar
telah dibangun dan ditata pondasinya oleh para nabi dari nabi yang pertama
(Adam As) sampai nabi terakhir (Muhammad Saw). Hal ini telah lebih dulu
berjalan mengingat Nabi Muhammad saw sendiri sebelum diangkat menjadi nabi dan
Rasul Allah, pernah menjadi pebisnis dengan sistem kongsi mudharabah
dengan Khadijah binti Khuwalid yang kemudian menjadi isteri tercinta beliau.
Lagi pula, ketika Muhammad saw diangkat menjadi nabi dan rasul, beliau telah
mengenal sistem pasar yang ada di zamannya semisal pasar Ukazh dan lain-lain[19].
Konsep yang sangat ditekankan dalam ekonomi syariah adalah dengan asas keadilan
dan pemerataan kesejahteraan ekonomi. Yang diajarkannya, hal ini tampak dalam
mempertahankan keseimbangan antara hak-hak ekonomi individu di satu pihak dan
sekaligus melindungi hak-hak sosial ekonomi masyarakat di pihak lain adalah dua
hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya[20].
Dalam konteks tata hukum di Indonesia
sebagai bagian sejarah transformasi ekonomi Islam dalam sistem perbankan nasional,
dapat dilihat kedudukan ekonomi syari`ah khususnya dalam hal ini perbankan
syari`ah sebagai mana yang diatur dalam Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang
perbankan Undang-Undang. Perbankan No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.[21]Sumber
hukum dasar tertulis sebagai sandaran ekonomi syariah paling utama dan pertama
dalam sistem hukum Indonesia kontemporer adalah ketentuan Pasal 29 Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Adapun sandaran sumber hukum
paling utama dalam konteks sistem hukum ekonomi saat ini adalah Undang-Undang
No. 10 Tahun 1998 dengan segala produk peraturan pelaksanaannya berupa
Peraturan Pemerintah, Peraturan Bank Indonesia atau Keputusan Bank Indonesia
yang dasarkan pada ketentuan langsung Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 dan
ketentuan Pasal 4 ketetapan MPR No.III/MPR/2000.[22]
Eksistensi perbankan syari`ah dewasa ini
telah terjamin secara hukum dan perundang-undangan. Alasannya, karena pengakuan
akan keberadaan dan posisi bank syari`ah telah diatur dalam Undang-Undang No.
23 Tahun 1999 tentang sistem perbankan nasional. Seperti yang diringkaskan oleh
Wahyu Dwi Agung : “antara lain memberi wewenang kepada Bank Indonesia untuk
melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengembangan serta melakukan pengelolaan
moneter melalui perbankan syari`ah dengan menggunakan instrumen yang sesuai
dengan prinsip syari`ah[23].
Diktum lain dari Undang-Undang Nomor 10
tahun 1998 tentang perbankan Syari`ah di Indonesia ialah bagian umum dari
penjelasan Undang-undang tersebut yang antara lain menegaskan: “sementara
itu, peranan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syari`ah perlu ditingkatkan untuk menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat”[24].
Aplikasi sistem perbankan Indonesia, untuk sandaran legitimasi dan kepastian
hukum secara yuridis formal tidak kurang dari sepuluh pasal di dalam
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 telah menentukan bahwa regulasi kebijakan
perbankan sepenuhnya dikuasakan pada otoritas Bank Indonesia.[25]
Sebaliknya regulasi yang dikuasakan dalam bentuk Peraturan Pemerintah hanya
terdapat lima pasal saja.[26]Bahkan,
produk regulasi pada tingkat yuridis teknis selain berupa Peraturan Pemerintah
dan produk putusan Bank Indonesia, juga dalam bentuk Dewan Syariah Nasional.[27]
Pemberlakuan
Hukum Islam di bidang muamalat khususnya perbankan syariah mempunyai arti
tersendiri bagi umat Islam Indonesia. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan, ketentuan hukum Islam di bidang muamalat
belum dapat dikatakan diakui dalam tata hukum nasional. Namun sejak lahirnya
Undang-Undang No.7 Tahun 1992 Tentang Pebankan yang diikuti dengan Peraturan
Pemerintah No.72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, dan
kemudian lahir Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Syariah yang
merupakan amandemen atas Undang-Undang No.7 Tahun 1992 serta Undang-Undang
No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan syari’ah dan diperkuat dengan beberapa
peraturan dari Bank Indonesia, maka dapat dikatakan penerapan hukum Islam di
bidang muamalat di Indonesia secara yuridis formal telah diakui eksistensinya.
Adanya hubungan yang cukup baik antara umat Islam dengan Negara dan juga telah
diterimanya asas tunggal Pancasila dalam kehidupan berorganisasi dan Politik,
maka yang semula politik hukum Indonesia secara politik hukum pada masa awal
orde baru kurang responship bahkan memarginalkan hukum Islam.[28]
Sedikit demi
sedikit atau pelan tetapi pasti hukum Islam diberi tempat dalam tata hukum
nasional, [29] dimulai dengan lahirnya Undang - Undang No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, dan khususnya perbankan syariah juga diberikan landasan hukum yang kuat
yaitu Undang- Undang No.7 tahun 1992 tentang Bank bedasarkan prinsip bagi hasil
dan kemudian diubah dengan Undang - Undang No.10 tahun 1998 Tentang Perbankan
syariah. Secara historis-sosiologis, hukum Islam sebagai bagian tidak
terpisahkan dari ajaran Islam dan menjadi norma masyarakat sejak masuknya Islam
ke Nusantara abad 1 H/7 M. yang diberi wewenang untuk menyelesaikan sengketa
ekonomi syari’ah adalah Pengadilan Agama, termasuk di dalamnya perbankan
syari’ah walaupun masih diberi jalan untuk ke Pengadilan Negeri.[30]Bahkan,
tuntutan terhadap existensi hukum Islam di Indonesia telah terbukti menjadi
bagian penting dalam pergulatan pemikiran dan perkembangan hukum nasional
selama masa kolonial.[31]
Melihat
peristiwa lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang sistem perbankan
nasional yang dapat dibilang berjalan dengan mulus tanpa ada hambatan dari
pihak manapun, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum Indonesia di
masa sekarang ini sangat akomodatif dan responsif terhadap hukum Islam dan
menerima penerapan hukum ekonomi Islam, khususnya Perbankan Syariah. Perbankan
Syariah di masa sekarang dan masa yang akan datang tidak lagi bergantung kepada
ligitimasi yuridis formal, tetapi pengembangan perbankan syariah di masa datang
lebih ditentukan oleh adanya kesadaran beragama dari umat Islam, artinya adanya
pengakuan dan ketaatan setiap umat Islam yang disertai dengan keyakinan
dan kesadaran terhadap pelaksanaan hukum Islam, khususnya hukum ekonomi Islam.[32]
Menurut penulis keyakinan dan kesadaran terhadap hukum Islam akan membawa
pengembangan dan kemajuan terhadap ekonomi Islam dalam hal ini adalah Perbankan
Syariah.
Dalam sebuah perjalanan pemerintah atau
negara, hukum tidak dapat dipisahkan dengan politik, apabila dilihat dari
tatanan politik hukum. Di satu sisi hukum itu dibuat sesuai dengan keinginan
para pemegang kebijakan politik, sementara disisi lain para pemegang kebijakan
politik harus tunduk dan bermain politik berdasarkan aturan hukum yang telah
ditetapkan oleh lembaga yang berwenang. Oleh karena itu antara politik dan
hukum terdapat hubungan yang sangat erat dan merupakan “two faces or a coin”
(dua sisi mata uang).[33] Selanjutnya yang dimaksud dengan politik
hukum Islam di Indonesia adalah legal policy
substansional ajaran syari’ah yang dilaksanakan secara nasional oleh
pemerintah Indonesia yang meliputi pembangunan hukum yang berintikan
pembentukan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai
dengan kebutuhan serta pelaksanaan hukum yang sudah ada.[34] Menurut Mahfud MD bahwa hukum merupakan
produk politik, sehingga karakter produk hukum sangat ditentukan oleh
perimbangan kekuatan politik (konfigurasi politik).[35]
Dalam perkembangan hukum di Indonesia,
terutama yang menyangkut perkembangan penerapan hukum Islam, hukum Islam
mengalami pasang surut mengikuti arah politik yang ada pada waktu itu. Pada
masa pemerintahan Belanda misalnya, ada sebuah teori yang sangat berpengaruh
bagi Pemerintah Kolonial Belanda didalam pembentukan hukum di Indonesia yang
dikenal dengan teori receptie.[36] Pengaruh teori receptie ini masih melekat pada masa awal kemerdekaan atau pada
masa pemerintahan orde lama, dan bahkan sampai pada masa pemerintahan orde baru 1967-1998.[37]Pada
masa Orde Baru ini konsep pembangunan hukum diarahkan pada konsep kesatuan
hukum nasional, dimana hukum agama (Islam) yang dianut mayoritas rakyat
Indonesia tidak dengan serta merta dapat dijadikan sebagai hukum yang berlaku.
Selanjutnya pada masa reformasi (1999-sekarang), politik hukum Islam di
Indonesia antara lain berisi menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan
terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum Agama dan hukum adat serta
memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif
melalui program legislasi.[38]
Politik hukum Negara Republik
Indonesia dewasa ini tidak lagi dipengaruhi oleh teori receptie yang oleh Hazairin disebut sebagai teori Iblis,[39] Negara Indonesia yang berfalsafah
Pancasila, melindungi Agama dan penganut agama, bahkan berusaha memasukkan
ajaran dan hukum Agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Muhammad Hatta
salah seorang The Founding Father menyatakan, dalam pengaturan Negara
hukum Republik Indonesia syariat Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan Hadits
dapat dijadikan peraturan perundang-undangan Indonesia.[40] Meskipun teori receptie pada pemerintahan saat ini pada rezim reformasi boleh
dikatakan tidak berpengaruh lagi dalam politik hukum Indonesia, bahkan dibilang
telah mati, namun Mahadi mengingatkan bahwa kendatipun teori receptie
telah mati, namun Substansinya
masih ada di alam pikiran sarjana hukum Indonesia.[41]
C. Analisis
Sengketa Kewenangan Pengadilan Dalam Menangani Perkara Ekonomi Islam
Undang-Undang
No. 1 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah yang terdapat pada pasal 5 UU No. 21
Tahun 2008 mengatur cara-cara menyelesaikan sengketa ekonomi syariah melalui
atau diluar proses peradilan, dalam undang-undang tersebut memberikan peluang
kepada para pihak untuk mengajukan perkara kepada peradilan Agama atau
Peradilan umum, sehingga para ahli berpendapat bahwa Peradilan Agama tidak
mempunyai kompetensi yang absolut karena dimungkinkan adanya choice of forum. Inilah perdebatan
mengenai sengketa kewenangan dua forum kekuasaan peradilan dalam menangani
sengketa ekonomi Islam. Para ahli mengatakan bahwa keputusan yang ada dalam
undang-undang tersebut pada kewenangan mengenai penanganan sengeketa ekonomi
syariah bernilai ketidak pastian hukum. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
berbagai ahli, berikut ini :
Pertama,
Menurut Bagir Manan
bahwa substansi dalam UU Perbankan tersebut menjelaskan “equity before the law” yang mengandung makna setiap orang tunduk
pada hukum substantif dan prosedural yang sama dan setiap sengketa diselesaikan
oleh forum yang sama. Dengan demikian tidak semestinya ada forum yang berbeda
dan bebas dipilih (choice of forum) oleh pihak yang berperkara suatu pilihan opportunistic
bukan saja akan menimbulkan disparitas dan ketidakpastian hukum, melainkan juga
akan menimbulkan kekacauan hukum (legal disorders). )[42]
Kedua,
Abdul Gani Abdullah,
Ketika ada sengketa ekonomi syariah maka pertanyaannya hukum manakah yang akan
di terapkan ?, maka dua hal yang perlu kepastian jawabannya yaitu choice of
law dan choice of forum,
pertanyaan tersebut mengandung choice of law. Di dalam pasal 49 UU No. 3
Tahun 2006 tentang peradilan agama ditentukan bahwa pengadilan agama betugas
dan berwenang memeriksa dan memutus perkara-perkara di tingkat pertama, dengan
demikian kesamaan hukum yang di maksud adalah yang di terapkan sesuai dengan
prinsip choice of law itu berarti semua subyek hukum choice of lawnya dalam
perkara ekonomi syariah tunduk atau munundukan diri (vrijwillege onderweving)
pada prinsip syariah[43]
Ketiga, Veithzal Rivai, bahwa untuk menopang ekonomi Islam
secara menyeluruh dapat dilakukan dengan cara membuat regulasi khusus atau
melakukan revisi atau amandemen atas perundang-undangan yang sudah ada
menyangkut hukum ekonomi secara umum sehingga dapat mengakomodir kekosongan
hukum ekonomi Islam, dan berharap dalam waktu yang tidak terlalu lama mampu
melahirkan Undang-Undang Dual Economic System, sebagai payung hukum
semua bisnis Islam di Indonesia.[44]
Keempat, Wahyu Widiana Kelahiran UU No. 3 Tahun 2006 yang
kemudian diubah dengan UU No. 50 Tahun 2009 Tentang perubahan kedua atas UU No.
7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dipandang banyak pihak sebagai blessing in disguese meski sangat
terlambat jika dibandingkan dengan peradilan yang lainnya, hal tersebut tidak
terlepas dari dinamika kepentingan politik yang menyelimuti kompetensi
Peradilan Agama dalam perkara ekonomi syariah.[45]
Kelima, menurut
pendapat ketua Himpunan
Ilmuwan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI).
“Usulan pemerintah itu bertentangan dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang
Pengadilan Agama yang memberi kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah,” kata Ketua HISSI Prof. Amin Suma,
mengatakan Pada Pasal 49 UU Pengadilan Agama (UU PA) memang menyebutkan, salah
satu kompetensi PA adalah menyelesaikan sengketa dibidang ekonomi syariah.
Dalam hal ini ekonomi syariah dirinci menjadi 11 jenis. Salah satunya adalah
perbankan syariah. [46]
Dari berbagai pendapat para ahli yang telah
dikemukakan penulis dapat mengambil beberapa benang merah dalam problematika
sengketa kewenangan peradilan di dalam menangani perkara ekonomi syariah, yaitu
:
Pertama,
Sebagaimana yang kita ketahui pada UU No 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama,
bahwasanya pada UU tersebut adanya penambahan kompetensi Peradilan Agama
terhadap ekonomi syari`ah, maka sudah sepatutnya kita mengikuti peraturan per
UU yang berlaku. Dengan kata lain, maka penyelesaian sengketa ekonomi syari`ah
sudah sepantasnya di selesaikan pada Peradilan Agama. di sisi lain, pengadilan
negeri juga tidak sesusai untuk menangani kasus sengketa lembaga keuangan
syariah. Pasalnya, bagaimana pun lembaga ini memiliki dasar-dasar hukum
penyelesaian perkara yang berbeda dengan yang dikehendaki pihak-pihak yang
terikat dalam akad syariah. Pengadilan Negeri tidak menggunakan syariah sebagai
landasan hukum bagi penyelesaian sebuah perkara.
Kedua,
di lain pihak Peradilan Agama pada dasarnya menyelesaikan sengketa antara
orang-orang yang beragama Islam dan tunduk pada hukum Islam, dalam hal ini
ekonomi syari`ah mewajibkan para pihak untuk tunduk pada hukum Islam, jadi
Peradilan Agama lah yang lebih pantas menyelesaikan sengketa melalui
pengadilan. Yang mana hal ini semakin menambah kewibawaan Peradilan Agama
sebagai salah satu lembaga judex facti yang berada di bawah naungan Mahkamah Agung .
Sementara itu disisi lain, kita harus melihat secara objektif, apakah akan
terjadi pengunduran/peningkatan jika ekonomi syari`ah termasuk kewenangan
Peradilan Agama
Ketiga,
Bahwa bisakah Apakah boleh ada dua forum untuk menyelesaikan sengketa untuk suatu hukum substansitif yang
sama, dan subjek hukum yang sama ? untuk mencegah hal –hal sengketa antar
wewenang (dispute aouthority) terjadi seyogyanya lembaga peradilan
berpegang teguh pada prinsip “apabila suatu urusan (perkara) telah
diselesaikan oleh salah satu pemegang kompetensi, maka pemegang kompetensi yang
lain tidak lagi berwenang mengurus atau menyelesaikan sengketa yang sama.”
Hal tersebut untuk mencegah adanya pilihan opportunistic sehingga menyebabkan
terjadinya sengketa antar wewenang dan hal tersebut sudah terjadi setelah di
berlakukannya undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan syariah
tersebut.
F. Penutup
Kesimpulan :
Pertama, Transformasi
ekonomi Islam ke dalam sistem perbankan nasional berjalan dengan baik, oleh
karena sistem politik nasional sudah bersifat akomodatif sehingga memberikan
sarana baru di dalam menjalankan ajaran agama Islam dalam hal bermuamalah bagi
segenap masyarakat muslim di Indonesia.
Kedua, kewenangan Pengadilan
Agama di dalam menangani sengketa ekonomi syariah secara substansial tidak
memberikan kewenangan absolut, oleh karena Pengadilan Negeri dapat juga
mengangani sengketa tersebut. oleh karena itu sengketa kewenangan pengadilan di
dalam menangani perkara ekonomi syariah berpotensi besar terjadi, jika dua
forum pengadilan yang berikan kekuasaan untuk
menangani perkara tersebut mempunyai sudut pandang yang berbeda.
Saran
:
Pertama, Pemerintah dalam
hal ini harus mendorong pertumbuhan perbankan Islam dalam bentuk regulasi
sebagai bagian dari perkembangan transformasi ekonomi Islam dalam perbankan
nasional. Sehingga prospek ekonomi Islam di masa yang akan datang akan menjadi
bagian pertumbuhan ekonomi nasional, bukan sebagai alternatif perekonomian
nasional.
Kedua, kepada pemerintah kiranya perlu
amandemen undang-undang perbankan syariah terutama dalam pemberian kewenangan
Peradilan Agama diberikan kewenangan absolut guna mencegah terjadinya sengketa
kewenangan dan menutup keumungkinan para pihak mengambil kesempatan dalam
sengketa. Disparitas pemahaman antara dua forum pengadilan yang diberikan
kewenangan harus dijaga dengan komunikasi yang baik, agar terjadi sinergitas di
dalam menangani sengketa ekonomi syariah.
Daftar Pustaka
Buku
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Cet
ke-10, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014.
Abd. Shomad, Hukum
Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam
HukumIndonesia, Cet ke-2,
Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2012.
Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam di Indonesia,
Bina
Ilmu, Yogyakarta, 1980; Noto
Susanto, Organisasi dan Jurispridensi Peradilan Agama di Indonesia,
Gajah Mada, Yogyakarta, 1963.
Ahmad
Azhar Basyir,”Hukum Islam Di Indoensia
Dari Masa Ke Masa,” dalam Dadan Muttaqin,et.all (ed) Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia,
Yogyakarta, UII Press, 1999.
Adiwarman A.
Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan
Keuangan, PT. Raja Grafindo persada, Jakarta, 2011.
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak
Komersial, Cet ke-2, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2011.
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia,
Cet ke-2, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2012.
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum,Rineka
Cipta, Jakarta, 2007.
Black Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co.,
St. Paul-Minnessota, 1990.
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum
dan Tata hukum Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1989.
Gemala
Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian
Syariah
di Indonesia, Op.Cit., Hlm. 21
Hasbi
Hasan, Kompetensi Peradilan Agama dalam
Penyelesaian Perkara Sengketa Ekonomi Syariah, Gramata Publishing, Jakarta,
2010.
Ichtijanto
SA, Prospek
Peradilan Agama Sebagai Peradilan Negara Dalam Kehidupan Umat Islam,
Jakarta, PP IKAHA, 1994.
Mardani, Kejahatan dalam Hukum Pidana Islam ,
Jakarta, In Hill Co. 2008.
Morris. L. Cohen & Kent C. Olson, Legal Research. (West
Publishing Company,
st. Paul, Minn. 1992).
Muhammad Amin Suma, Menggali Akar Mengurai
Serat Ekonomi dan Keuangan Islam, Tanggerang, Kholam, 2008.
Mohd.Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia,
Jakarta, LP3ES, 1998,
Muhammad
Daud Ali-Habibah Daud, Lembaga-Lembaga Islam Di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,1995.
M.Solly
Lubis, Politik Dan
Hukum Di Era Reformasi, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet ke-9, Kencana
Prenadamedia
Group, Jakarta, 2014.
Philipus
M. Hardjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (normatif), Universitas
Hukum
Airlangga, Surabaya, 1994.
Sutan Remy
Sjahdeini, Perbankan Syariah Produk –
Produk dan Aspek – Aspek Hukumnya,
PT. Jayakarta Agung Offset, Jakarta,
2010,
Rifyal
Ka’bah, Hukum Islam Di Indonesia,
Universitas Yarsi,Jakarta, 1999.
Makalah dan Media
Internet
:
Abdul Gani Abdullah, “Penegakan Hukum sengketa Ekonomi Syariah Di
Indonesia” Disampaikan pada acara seminar nasional yang di
selenggarakan Himpunan Ilmuwan Dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI). Pada
Tanggal. 18 Juni 2011
M. Amin Suma, , “Penegakan Hukum sengketa Ekonomi Syariah Di Indonesia”
Disampaikan pada acara seminar nasional yang di selenggarakan Himpunan
Ilmuwan Dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI). Pada Tanggal. 18 Juni 2011.
www.Google.com/badilag
Tanggal. 30 Desember 2015.
Peraturan
Perundang-undangan :
Undang-Undang Republik Indonesia
No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.
Undang-Undang
Republik Indonesia No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
Undang-Undang
Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)
Produk
Fatwa DSN ini sampai Tahun 2000 tidak kurang dari 20 fatwa. Lihat DSN MUI dan
BI, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional Untuk Lembaga Keuangan Syariah,
(Jakarta: DSN MUI dan BI, 2001).
[1] Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan
Keuangan, Cet ke-10, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014, Hlm. 25.
[2] Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah
Dalam Hukum Indonesia, Cet ke-2, Kencana Prenadamedia Group,
Jakarta, 2012, Hlm. 111-112.
[3] Kajian
mendalam tentang Peradilan Agama di Indonesia, terj. Zaini Ahmad Noeh,
Intermasa, Jakarta, 1986; Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah
Singkat Pengadilan Agama Islam di Indonesia, Bina Ilmu, Yogyakarta, 1980;
Noto Susanto, Organisasi dan Jurispridensi Peradilan Agama di Indonesia,
Gajah Mada, Yogyakarta, 1963.
[5] Morris. L.
Cohen & Kent C. Olson, Legal Research. (West Publishing Company, st.
Paul, Minn. 1992). Hlm. 1.
[6] Peter Mahmud
Marzuki, Penelitian Hukum, Cet ke-9 (Kencana Prenadamedia Group,
Jakarta: 2014) hlm. 60.
a.
The finding and assambling of authorities that bear on a
questions of law.
b.
The field of study concerned with the effective
marshalling of authorities that bear on a questions of law.
[9] Hukum adalah asas moralitas atau asas keadilan yang
bernilai universal dan menjadi bagian inheren sistem hukum alam, dan hukum
adalah kaidah-kaidah positif yang berlaku umum pada suatu waktu tertentu dan
disuatu wilayah tertentu dan menjadi sumber suatu kekuasaan politik tertentu
yang berletigimasi. Kedua konsep hukum ini dalam literatur-literatur disebut
sebagai konsep konsep normatif. Lihat. Burhan Ashshofa, Metode Penelitian
Hukum, (Rineka Cipta, Jakarta: 2007) hlm. 32-33.
[10] Philipus M.
Hardjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (normatif), (Universitas Hukum
Airlangga, Surabaya: 1994) hlm. 32.
[11] Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas
Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Op,Cit.,hlm. 39.
[12] Sutan Remy
Sjahdeini, Perbankan Syariah Produk – Produk
dan Aspek – Aspek Hukumnya, PT.
Jayakarta Agung Offset, Jakarta, 2010,
Hlm. 233.
[13] Hal-hal yang
dianggap penting dalam penerapan asas hukum perikatan Islam ke dalam
Perundang-udangan Negara yang mengatur Perbankan Syariah adalah penggunaan
asas-asas tersebut dalam klausul kontrak, penerapan dan pelaksaanaannya dalam
perbankan syariah yang tidak hanya harus sesuai dengan prinsip syariah akan
tetapi juga tunduk pada hukum Positif Indonesia, lihat Gemala Dewi, Aspek-aspek
Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah
di
Indonesia,
Op.Cit., Hlm. 211.
[14] Kalangan ahli hukum
pada umumnya berpandangan bahwa sumber
hukum material dapat ditinjau dari berbagai sudut, mulai dari sudut
ekonomi, sejarah, dan sosiologi sampai pada sudut filsafat dan lain sebagainya.
Adapun sumber formal yang dikenal dalam ilmu hukum, adalah terdiri dari UU (statute, perundang-undangan) kebiasaan
(hukum adat,costum, common law),
keputusan-keputusan hakim (judge law,
jurisprudentie) traktat (perjanjian, Treaty)
dan pendapat sarjana hukum (doktrin). C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1989, Hlm. 46.
[15] Adiwarman A. Karim,
Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan,
PT. Raja Grafindo persada, Jakarta, 2011, Hlm. 462.
[17] Istilah hukum Islam
merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan dari al-fiqh al-Islami, istilah ini dalam wacana ahli hukum Barat
digunakan Islamic law. Dalam
Al-Qur’an maupun As-sunnah tidak dijumpai, yang digunakan adalah kata syariah
yang dalam penjabarannya kemudian lahir istilah fiqh. Antara syariah dan
fiqh memiliki hubungan yang sangat erat. Karena fiqh formula yang
dipahami dari syariah. Syariah tidak dapat dipahami dengan baik, tanpa melalui fiqh
atau pemahaman yang memadai, dan diformulasikan secara baku. Fiqh
sebagai hasil usaha memadai, sangat dipengaruhi oleh tuntutan ruang dan waktu
yang meliputi faqih (jamak fuqoha)
yang memformulasikannya. Karena itulah sangatlah wajar jika kemudian terdapat
perbedaan-pebedaan dalam rumusan mereka. Lihat Mardani, Kejahatan dalam Hukum Pidana Islam , Jakarta, In Hill Co. 2008,
Hlm. 60.
[18] Muhammad Amin Suma,
Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam, Tanggerang,
Kholam, 2008, Hlm. 49.
[19] Ibid,. Hlm. 91.
[20] Ibid., Hlm. 146.
[21] Ibid., Hlm. 2.
[22] Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama dalam
Penyelesaian Perkara Sengketa Ekonomi Syariah, Gramata Publishing, Jakarta,
2010, Hlm. 95.
[23] Ibid., Hlm. 370.
[24] Ibid., hlm. 371.
[25] Otoritas kebijakan regulasi ini, dalam UU
No.10 Tahun 1998 antara lain terdapat dalam ketentuan Pasal 6 (m) Pasal 7 (c)
pasal (8) Pasal 13 (c) Pasal 16 (3) Pasal 18 (4) Pasal 19 (2) Pasal 22 (2) dan
pasal 33 (2).
[26] Fakta Yuridis ini,
dalam UU No. 10 Tahun 1998 terdapat dalam
ketentuan Pasal 12 (2), Pasal 12A
(2) Pasal 29 (5) dan Pasal 33 (2).
[27] Produk Fatwa DSN
ini sampai Tahun 2000 tidak kurang dari 20 fatwa. Lihat DSN MUI dan BI,
Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional Untuk Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta:
DSN MUI dan BI, 2001).
[28] Sikap pemerintahan
orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto terhadap Islam (hukum) dapat dibagi
menjadi 3 fase yaitu : 1) Fase Antagonis ( 1966-1981), yakni sikap antipati dan
mencurigai terhadap umat Islam, 2) Fase Resiprokal ( 1982-1985 ), yakni sikap
saling memberi angin dan tidak bersebelahan lagi dengan umat Islam, 3) Fase
Akomodatif ( 1986-1999),yakni sikap yang semakin baik dan mesra hubungan umat
Islam dengan pemerintah.
[29] Rifyal Ka’bah, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta,
Universitas Yarsi, 1999, Hlm. 69.
[31] Ahmad Azhar
Basyir,”Hukum Islam Di Indoensia Dari
Masa Ke Masa,” dalam Dadan Muttaqin,et.all (ed) Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia,
Yogyakarta, UII Press, 1999, Hlm. 7-13.
[33]M.Solly Lubis, Politik
Dan Hukum Di Era Reformasi, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,
2003, Hlm. 43.
[34]Mohd.Mahfud MD, Politik
Hukum Di Indonesia, Jakarta,
LP3ES, 1998, Hlm. 9.
[35] Ibid., Hlm.
15.
[36] Receptie adalah suatu teori
yang dipelopori oleh Christian Snouck Hurgronje. teori tersebut menyatakan
bahwa yang berlaku di Indonesia
adalah hukum adat asli. Oleh karena itu hukum Islam baru bisa berlaku jika
telah diterima oleh hukum adat. Sebagai reaksi atas teori ini lahir teori tanpa
nama yang dipelopori oleh Hazairin,Teori ini menyatakan yang
berlaku di Indonesia adalah hukum Islam, hukum adat bisa berlaku jika diakui oleh
hukum Islam. lihat M.Solly Lubis, Politik Dan Hukum Di Era Reformasi,Op.,Cit.
Hlm. 43.
[37] Orde Lama adalah
sebutan rezim Soekarno (1945-1965), sedangkan Orde Baru sebutan rezim Soeharto
(1967-1998).Orde Baru merupakan reaksi dan koreksi terhadap praktek
pemerintahan orde lama yang menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945, dan
bertekad untuk mengabdi kepada kepentingan nasional berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945. lihat M.Solly Lubis, Politik Dan Hukum Di Era Reformasi,Ibid.,
Hlm. 43.
[38]Masa Reformasi
adalah sebutan rezim setelah pemerintahan Soeharto (orde baru) tumbang, yang
diawali oleh Pemerintahan Baharudin Jusuf Habibie, dengan slogan pemberantasan
KKN dan penegakan supremasi hukum serta pembentukan masyarakat madani.
[39]Disebut teori iblis
karena sangat bertentangan dengan kehendak Allah dan RasulNya.
[40] Ichtijanto SA, Prospek
Peradilan Agama Sebagai Peradilan Negara Dalam Kehidupan Umat Islam,
Jakarta, PP IKAHA, 1994, Hlm. 258.
[41] Muhammad Daud
Ali-Habibah Daud, Lembaga-Lembaga Islam Di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,1995,
Hlm.115.
[42] Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama dalam
penyelesaian perkara sengketa ekonomi syariah, (Jakarta, Gramata
Publishing, 2010) Hlm. 10.
[43] Abdul Gani Abdullah, “Penegakan Hukum sengketa Ekonomi Syariah Di Indonesia” Disampaikan
pada acara seminar nasional yang di selenggarakan Himpunan Ilmuwan Dan Sarjana
Syariah Indonesia (HISSI). Pada Tanggal. 18 Juni 2011
[44] Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama dalam
penyelesaian perkara sengketa ekonomi syariah, Hlm. 23.
[45] Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama dalam penyelesaian
perkara sengketa ekonomi syariah, Hlm. 17.
[46] M. Amin Suma, , “Penegakan Hukum sengketa Ekonomi Syariah Di
Indonesia” Disampaikan pada acara seminar nasional yang di selenggarakan
Himpunan Ilmuwan Dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI). Pada Tanggal. 18 Juni
2011.